Selasa, 04 Desember 2012

Freedom Day

Hari ini tepat tanggal 4 Desember 2012, ketika bel berbunyi sontak senyum kecil mulai menyinggung di pipi kami bagaimana tidak hari ini adalah hari terakhir UAS Gazal. Setidaknya 'kiamat' dapat kami lewati lagi :) .. Katanya kalo udah waktu waktu seperti inilah akan terjadi KETERFRUSTASIAN dalam diri kami ya gimana gak, taun depan kan udah UAN . OMG !!
Lanjut. seketika saat semua teman temanku keluar dari kelas, memang dari hari sebelumnya kita kita udah janjian buat acara atau nongkrong bareng gitu :D .. Pas udah ngumpul, planning pertama sih mau karokean bareng tapi ternyata jarang yang mau ikut katanya gak seru . yawede, kita mutusin buat ke Restaurant Ayam Penyet aja.. Kebetulan Si Ayam Penyet baru buka cabang di Rantepao.

Nah pas sampai di sana ternyata belum jam 10. Kalian tahu apa ? Restaurantnya belum buka -_-'. Mau cari tempat lain juga semuanya pada jauh jauh. Kita kita pun mutusin untuk nungguin ini Restaurant buka . Sambil nungguin Restaurantnya buka, biasa hal yang mutlak perlu untuk dilakukan adalah foto foto :D ini dia beberapa foto tadi, ada juga yang sempat ku edit ;








Setelah dari restaurant tadi, kita kita bingung mau kemana..
Eh baru ingat ternyata ada pusat perbelanjaan baru di sekitar SMA Kr. Rantepao. Ada MATAHARI di sana. Nekat. tanpa niat beli, kita kita ke sana hanya untuk ngeliat liat. Bahkan temanku Susan sempat lo coba coba sepatu di sana. ckckc -_-'. Beberapa menit setelah liat liat barang di sana, BOSEENN !!
yawede lanjut ke Supermarket temani si Grace blanja. Gak tahu mau belanjaa apa dia.. Dan saya bareng Linda dan Merchy sempat sempatin foto foto bareng boneka di sono. hahaa.. x_x ..

Akhirnya si Grace dapat juga yang mau dia bli.. Waktunya pulangg !!!!

Sabtu, 01 Desember 2012

ditEdit

Mencoba mengutak atik photo editor apapun yang ada di Laptopku..
dan beberapa hasil editanku seperti di bawah ini. Walau gak terlalu suka sama yang kayak giniaan tapi jelek bagusnya hasil editan itu kita selalu puas.. dan selalu ingin mempublikasikannya.. begtiu juga dengan saya, walaupun hasilnya gak bagus bagus amat tapi dengan rasa PD yang ama amat gak karuan dan dengan bismillah saya akan mempublikasikannya ..

cekidot yaa...















Secerca kepingan masa INDAH bersama mereka

Klik .... Klik .... Klik.... Gw lagi boring kebetulan lagi malam Minggu semuanya pada malam Mingguan. Stuck deh gw di rumah bareng laptop gw yang mulai gak bisa di ajak kemana mana , cepat banget lowbattnya bray..
Tiba tiba insting gw perintah jemari gw untuk membuka folder folder masa SMP gw. HAHAHHA ngakak ngakak banget gw liat ekspresi ekspresi teman2 gw waktu masih SMP. Semuanya ternyada udah beda. Sekarang udah gak ada yang namanya muka muka polos SMP. Dan semua itu yang buat gw KANGEN  banget sama teman teman SMP gw. Senyum itu, kegokilan itu, kenakalan itu, semuanya... Entah mengapa masa SMPlah yang selalu membuat gw termenung.. Kenapa gak? Di SMPlah gw ngerti PERSAHABATAN itu apa. Banyak banget yang gw kangeni masa masa SMP gw.. Gak bisa untuk dijelaskan dengan uraian panjang. Terlalu berharga KENANGAN sampai sampai gw gak bakalan lupa sekeping pun kenangan itu.. Woiii NINEONERS tau gak sih kaloo gw KANGEN sama kaliaan..... Pake nangis nih gw :'(

Biar gak kangen lagi upload foto foto mereka :)
Inilah dia secerca kepingan Warna Hidup gw

Tika Alex Jein

ini pas pulang ambil nilai renang @rantepaolodge

Alexander patandianan




Maryanti Patabang


dari kiri ke kanan : ica fera ulfi cia jein ramma




keren gak ? hahhah





Pus Ramma




ini pas pulang dari panti asuhan @ Tagari

inilah MEREKA yang selalu membuat saya kangen (Jein Ica Lisa Lani)



Puspita K


Yunita Boron


      
Suasana kelasku kala itu







Itulah beberapa foto foto kepo' kita waktu SMP. LuCU. LUCUUUUU banget malah... jadi kangeeeennnnnnnn

CINTAKU BERLABUH DI MESIR

Karya Irna Octarina
 
 
Narina masih saja sibuk dengan komputernya, ia tengah melengkapi data-data yang harus ia bawa ke Mesir. Pikirannya masih kacau balau, ibunya bersikukuh untuk tidak mengijinkannya pergi ke Mesir.
Ditengah kesibukannya, Ibu Nafisah memanggil anaknya,
“Narina ayo keluar dari kamarmu, sekarang sudah waktunya makan siang. Sudah sejak tadi pagi kau tidak keluar kamar.”

Dengan setengah berlari ia pun keluar kamar, jilbabnya yang anggun membuat ia terlihat lebih cantik, “Ia bu, tunggu sebentar.” Ia segera duduk dan bersiap untuk makan, sebelum makan ia mencuci tangannya terlebih dahulu.
“Ayah mana bu? Kok dia gak makan bareng kita?”
“Ayahmu sedang keluar sebentar, ngga lama lagi ayahmu juga pulang nak.”
“ Oh ya bu, rencananya minggu depan aku akan berangkat ke Mesir. Semua data-data yang aku butuhkan sudah hampir selesai…
Belum selesai bicara, ibunya langsung memotong ucapan anaknya, “ Sudah berapa kali ibu bilang, ibu tak akan pernah mengijinkan kamu untuk pergi ke Mesir. Buat apa sih nak kamu kuliah jauh-jauh disana? Di Jakarta kan juga banyak Universitas Islam yang bagus,”
“Tapi bu kesempatan untuk kuliah disana hanya sekali,” tanpa sadar air matanya pun menetes.
Memang berat bila ia harus berpisah dengan ibunya, terlebih lagi ia akan berada di Mesir selama kurang lebih empat tahun dan belum tentu ia dapat pulang setiap tahun untuk menemui ibunya. Kepergiannya ke Mesir untuk melanjutkan pendidikannya, ia mendapatkan beasiswa di Al Azhar University Cairo. Sejak kecil ia selalu bermimpi untuk pergi ke Mesir dan melihat betapa indahnya Sungai Nil, dan impiannya kini sudah ada di depan mata.
“Tolong ijinkan aku bu, aku hanya beberapa tahun saja disana, aku akan selalu memberi kabar pada ibu. Aku tak akan pernah lupa pada ibu yang sangat aku sayangi,”
“Apapun alasanmu tetap saja ibu tak rela bila harus hidup sendirian tanpamu nak, ibu sangat menyayangimu. Ibu tak ingin kehilangan anak semata wayang ibu, huhuhu (ibunya pun ikut menangis).

Ayahnya pun masuk segera masuk ke dalam rumah ketika ia mendengar suara tangisan yang terdengar dari teras rumah.
“Kenapa kalian berdua menangis?” Tanya sang ayah kebingungan.
“Ibu tetap tidak mengijinkanku untuk berangkat ke Mesir ayah, aku sudah tidak tau harus bagaimana lagi.”
“Sudahlah bu biarkan anakmu memilih jalan hidupnya, ia sudah dewasa dan ayah yakin kalau ia bisa menjaga dirinya baik-baik.”
“Iya bu, benar apa kata ayah. Aku yakin bisa menjaga diri disana, di Mesir aku juga tidak sendiri. Aku ditemani Hikami dan Amalia, mereka juga kuliah disana,”
“Huh yasudahlah terserah kalian … tapi jika terjadi apa-apa pada Narina, ayah yang akan ibu salahkan.”
Akhirnya Ibu Nafisah mengijinkan kepergian anaknya ke Mesir. Memang berat melepaskan anak semata wayangnya untuk hidup mandiri di Mesir. Ia sangat menyayangi Narina dan kemana saja Narina pergi selalu ditemani ibunya. Wajah mereka pun sangat mirip, bahkan terkadang ada orang yang mengira bahwa mereka adalah kakak beradik. Perbedaan umur diantara mereka juga tidak berbeda jauh, ibunya baru berusia 37 tahun dan anaknya 20 tahun lebih muda dari usianya kini.
***

Tibalah hari yang ia tunggu-tunggu, hari ini adalah hari keberangkatannya ke Mesir. Ia memasukkan semua perlengkapan pribadinya ke dalam koper birunya. Tak lupa ia membawa Novel Ketika Cinta Bertasbih 1 & 2 karangan Habiburrahman El Shirazy, ia sangat menyukai novel itu. Baginya begitu banyak ilmu yang ia dapatkan dari novel itu. Setelah selesai menyiapkan perlengkapannya, ia langsung mengambil air wudhu untuk Salat Dhuha. Ia masih punya waktu setengah jam lagi sebelum berangkat ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta.

Sebelum berangkat ia menyempatkan diri untuk menelpon kedua temannya, Hikami dan Amalia, ia ingin memastikan bahwa kedua temannya sudah siap untuk berangkat ke Mesir. Setelah itu tak lupa ia berpamitan kepada kedua orang tuanya,
Narina pun berangkat, tak lupa ia mencium tangan kedua orang tuanya. Baru beberapa langkah berjalan, ia lalu memalingkan tubuhnya dan kembali untuk memeluk ibunya. Tak terasa air matanya mengalir membasahi jilbab biru mudanya, ia begitu sedih harus berpisah untuk sementara waktu dengan ibunya tapi di sisi lain ia juga tak bisa menyia-nyiakan kesempatan untuk kuliah di Mesir.

Sudah lima jam ia berada di dalam pesawat, perjalannya masih sekitar tujuh jam lagi tetapi ia belum bisa tertidur. Padahal Amalia sudah tertidur pulas, sedangkan Hikami masih saja fokus dengan bukunya. Anak yang satu ini memang suka sekali membaca buku, baginya waktu terasa hambar bila ia tak membaca buku. Narina lalu memutuskan untuk memasang headset dan memutar sebuah lagu favoritnya,

Bertuturlah cinta
Mengucap satu nama
Seindah goresan sabdamu dalam kitabku
Cinta yang bertasbih
Mengutus hati ini
Kusandarkan hidup dan matiku padamu
Bisikkan doaku dalam butiran tasbih
Kupanjatkan pintaku padamu Maha Cinta
Sudah diubun-ubun cinta mengusik resah
Tak bisa kupaksa walau hatiku menjerit
Ketika cinta bertasbih nadiku berdenyut merdu
Kembang kempis dadaku merangkai butir cinta
Garis tangan tergambar tak bisa aku menentang
Sujud syukur pada-Mu atas segala cinta

Akhirnya ia pun tertidur dalam bait-bait lagu Ketika Cinta Bertasbih, sejurus kemudian ia sudah tiba di Mesir. Hikami membangunkan kedua temannya, sejak tadi pagi Hikami belum memejamkan mata sehingga wajahnya terlihat agak pucat. Mereka pun segera turun dari pesawat dan menuju rumah yang telah disewa oleh Amalia. Kebetulan salah satu kerabat dari Amalia ada yang tinggal di Mesir dan rumah itu sudah tidak ditempati lagi. Wajah Narina tampak begitu bahagia ketika menapakkan kakinya di Mesir, ia seolah tak percaya.
Setelah tiba di rumah, tak lupa Narina memberi kabar pada orang tuanya di Indonesia. Mereka bertiga langsung membersihkan rumah dan beristirahat sejenak untuk melepas lelah. Ada dua kamar, satu kamar untuk Narina dan yang satunya lagi untuk Hikami dan Amalia. Mereka begitu kelelahan, tetapi Narina memutuskan keluar sebentar untuk mencari makanan. Narina melihat pemandangan di sekelilingnya, begitu banyak wanita bercadar disana. Lalu ia berhenti sejenak ketika ada rumah makan yang menjual makanan asli Indonesia. Ia memperhatikan semua menu yang tersedia, tampaknya ia agak sedikit bingung harus memesan apa. Akhirnya ia memutuskan untuk membeli 3 bungkus nasi, rendang, sayur nangka, dan es teh. Semuanya dibungkus untuk ia makan bersama kedua temannya. Saat ia ingin keluar, ia hampir bertabrakan dengan seorang lelaki yang sepertinya orang Indonesia juga.
“Maaf maaf, saya sedang terburu-buru.” Ujar lelaki itu dengan nafas yang terengah-engah.
“Iya ngga apa-apa”, sepintas ia terpesona oleh lelaki itu. Wajahnya yang terlihat lelah seperti orang yang tidak tidur semalaman tapi aura yang dipancarkannya begitu memikat bagi siapapun yang melihatnya.
Ternyata kedua temannya sudah bangun dan tengah menonton tv di rumah.
“Assalamualaikum,”
“Waalaikumsalam,” jawab kedua temannya hampir bersamaan. “Dari mana kamu Na?”
“Ini aku beli makanan, aku tau pasti kalian laper banget,’’ tanpa disuruh Amalia langsung mengambil piring dan gelas. Ia sudah tidak bisa lagi menahan rasa laparnya. Dan lusa adalah hari pertama mereka kuliah, kebetulan Amalia mengambil jurusan yang sama dengan Narina, yakni jurusan Sejarah dan Peradaban Islam sedangkan Hikami mengambil jurusan Perbandingan Agama.
“Ternyata Al-Azhar gede benget ya, duh ga nyesel deh kuliah disini. Meskipun aku ga dapet beasiswa seperti kalian, tapi aku seneng bisa satu universitas sama kalian.” Kata Amalia. Kebetulan Narina tidak sekelas dengan Amalia, maka ia mencari kelasnya sendiri. Saat ia sedang kebingungan mencari kelasnya, lalu ada seorang lelaki yang menghampirinya, “Lagi bingung nyari kelas ya? Tanya lelaki itu,

Seketika itu juga Narina kaget bukan kepalang, ternyata lelaki yang waktu itu pernah membuatnya terpesona kini ada di hadapannya. Dengan sedikit gugup ia menjawab pertanyaan lelaki tadi, “Ia, dan saya mahasiswa baru disini,” Lalu mereka saling berkenalan, lelaki itu bernama Andi Hanif Rahman. Ternyata Andi juga kuliah di Al-Azhar dan berada dalam jurusan yang sama, tetapi Andi satu tingkat diatas Narina. Ada sedikit rasa senang di hatinya saat ia tau siapa nama lelaki itu, ia merasa apakah ia sedang jatuh cinta atau tidak.
***

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, dan bulan berganti bulan. Tak terasa ia sudah tiga tahun di Mesir, rasanya sudah begitu lama ia tak bertemu dengan ibunya. Rasa rindunya sudah tak tertahankan lagi, terkadang ia menangis dalam sujudnya di malam hari. Pemandangan sungai nil yang begitu indah, membuatnya semakin sedih. Seandainya saja saat ini ada sang ibu yang menemaninya, pasti kebahagiaannya di Mesir akan lengkap sudah. Butir demi butir air matanya menetes, hembusan angin merasuk ke dalam tubuh dan jiwanya. Tanpa sadar ternyata ada seorang lelaki yang berdiri di sampingnya, ia pun segera mengusap air matanya dengan tisu yang ada di sakunya.
“Kuperhatikan sejak tadi, mengapa kau menangis? Sepertinya kau sedang memikirkan sesuatu,” Tanya Andi.
Dengan suara serak ia pun membuka suara,”Aku rindu pada ibuku, sudah 3 tahun aku tak bertemu dengannya, oh ya kenapa ka Andi bisa ada disini?”
‘’Hehe sebenarnya aku mengikutimu sejak kau pulang kuliah, kelihatannya kau sangat sedih dan begitu terburu-buru,”
“Ah, mana mungkin kakak ngikutin aku. Hehe kakak ini ada-ada aja,” akhirnya ia pun sudah mulai bisa tersenyum. “Kakak masih inget ngga waktu kita ketemu di rumah makan? Tepatnya tiga tahun yang lalu,”
“Ya iyalah, kakak inget banget malah. Kakak kan suka sama kamu sejak kita ketemu waktu itu…”

Wajah Narina terlihat memerah, sepertinya ia malu dan tidak tau harus berkata apa. Mereka diam sejenak, tak ada yang berani untuk membuka suara. Narina malah pulang ke rumahnya, Andi hendak mengejarnya tapi ia tak punya keberanian. Sebenarnya Andi tak berniat untuk mengatakan itu pada Narina, tapi kata-kata itu keluar seketika dari mulutnya. Ia memang jatuh hati pada Narina sejak pertama kali ia bertemu. Waktu itu ia hampir telat untuk masuk kerja jadi ia terburu-buru dan hampir menabrak Narina. Sejak saat itu ia penasaran dengan sosok gadis itu, sampai akhirnya ia bertemu lagi dengan Narina di Universitas Al-Azhar. Ia semakin sering memperhatikan Narina saat gadis itu berada di kampus, tetapi Narina tak pernah menyadarinya. Baginya, Narina adalah sosok yang sederhana, lemah lembut dan ia bagaikan bunga yang bermekaran di musim semi. Narina cukup terkenal di kampusnya, ia adalah mahasiswi yang cerdas. Ia pun aktif dalam kegiatan-kegiatan kampus.

Setibanya di rumah, Narina langsung masuk ke dalam kamarnya dan menangis hingga sesenggukan. Kedua temannya langsung menghampiri Narina, lalu Narina menceritakan apa yang ia alami hari ini kepada kedua temannya. Termasuk awal mula pertemuannya dengan Andi dan perasaan yang ia pendam pada Andi.
“Ya ampun Narina, kenapa kamu gak bilang ke Andi kalo kamu juga suka sama dia? Jelas-jelas kalian kan saling cinta,” tutur Lia,
“Tapi aku ga mau kalo kak Andi suka sama aku,”
Hikami dan Amalia langsung saling berpandangan, mereka bingung mengapa Narina bersikap seperti itu.” Aku itu ga mau kalo nantinya aku malah pacaran sama kak Andi, aku takut kalo kuliah aku jadi terganggu. Disini aku tinggal satu tahun lagi, aku pengen pulang ke Indonesia dengan gelar sarjana terbaik jadi aku gak pengen ngerusak impian aku itu dengan pacaran,” ungkap Narina.
Dengan spontannya, Lia langsung megeluarkan idenya, “ Emm gimana kalo kamu nikah aja? Kak Andi juga udah lulus, kan ga ada larangan menikah buat mahasiswa.”
Saran dari Lia hanya membuatnya semakin bingung, akhirnya ia memutuskan untuk menjauhi Andi selama beberapa waktu. Ia butuh waktu untuk memikirkan masa depannya itu.
***

Sudah hampir sepuluh bulan Narina tidak bertemu dengan Andi, ada rasa rindu yang terbersit dalam hatinya tapi ia memilih untuk menahan rasa rindunya itu. Padahal Andi selalu berusaha untuk menemuinya, tapi ia selalu menolak. Ada saja alasan yang dibuat oleh Narina, padahal Andi telah membulatkan tekadnya untuk melamar Narina.
Dan sepuluh bulan setelah kelulusannya, usaha yang Andi rintis semakin maju. Setelah menyelesaikan kuliahnya, ia mencoba bisnis berbagai macam pakaian muslim secara online dan omset yang ia dapatkan sangat memuaskan. Mungkin cukup untuk biaya pernikahannya kelak, tapi belum ada jodoh yang tepat untuknya. Padahal banyak gadis yang menyukainya tapi entah mengapa ia selalu menolaknya. Hanya Narina yang selalu ada di pikirannya, ia yakin suatu saat nanti ia bisa mempersunting gadis pujaannya itu. Ia bertekad untuk selalu menunggu Narina, sampai gadis itu mau menerima ia sebagai suaminya.

Tak terasa, hari kelulusan itu telah tiba dan Narina dinobatkan sebagai mahasiswa terbaik di kampusnya. Betapa bahagia dan terharunya dia, ia pun tak sabar untuk kembali ke tanah air dan bertemu dengan kedua orang tuanya. Ia pun memutuskan untuk segera pulang ke Indonesia bersama Amalia. Sementara Hikami memilih untuk melanjutkan S2 nya, meskipun ada sedikit rasa sedih karena ia harus berpisah dengan kedua temannya tapi ia mencoba untuk tetap tegar karena ia memang bercita-cita untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Narina pun pulang tanpa sempat memberi kabar kepada Andi, karena ia sudah terburu-buru.
Dua belas jam di pesawat, membuatnya kelelahan. Tapi setibanya di rumah, seolah rasa lelah itu hilang sudah. Ia langsung memeluk kedua orang tuanya dan menangis di pundak ibunya. Mereka saling melepas rindu, lalu sang ibu bertanya pada Narina, “Ibu bangga sama kamu nak, kamu bisa memberikan yang terbaik. Lalu bagaimana dengan jodohmu nak, apakah kau sudah menemukan jodoh yang tepat di Mesir?”

Seketika itu juga Narina merasa seolah tubuhnya bak tersiram air panas, ia teringat dengan Andi. Ia tidak sempat menemui Andi, bagaimana nasib andi sekarang, semua itu hanya terbenak dalam pikirannya.
“Ditanya ko malah diem?”, ucap ibunya.

Ia mulai membuka suara, dengan terbata-bata ia menceritakan pada ibunya bahwa ia sudah menemukan lelaki yang ia dambakan tapi ia malah menjauhinya.
“Yasudah nak gak apa-apa, kalo jodoh gak akan kemana,”
Lalu ia masuk kedalam kamar, ia masih memikirkan Andi. Bagaimana Andi sekarang, sudah hampir setahun ia menjauhi Andi. Apakah Andi masih menyukainya,
***

Ibu Nafisah ingin sekali ke Mesir, maka sang Ayah mengajak istri dan anaknya untuk berlibur di Mesir selama beberapa pekan. Di sisi lain, Andi masih terus mencari Narina. Setelah Narina lulus, ia tak pernah memberi kabar pada Andi tapi tetap saja Andi setia menunggu Narina.
Saat Narina hendak berkunjung ke rumah Hikami, ia bertemu dengan Andi. Ingin rasanya ia memeluk Andi untuk menghilangkan rasa rindunya selama ini tapi ia tak bisa. Mereka berdua menangis dan saling bertatapan, Andi tak menyangka penantiannya selama ini membuahkan hasil.
“Narina aku sangat menyayangimu, selama ini aku selalu menunggumu tapi kau tak pernah ada kabar. Aku tak ingin bila harus kehilanganmu lagi, maka maukah kau menikah denganku?”

Narina pun tak bisa menjawab, ia merasa sangat terharu. Inilah saat-saat yang selalu ia tunggu. “Huhuhu aku juga sayang sama kakak, kalau begitu temui orang tuaku dan nikahi aku.”
“Baiklah kalau begitu, akan kusuruh teman-temanku untuk memanggil penghulu dan surat-surat pernikahan akan diurus secepatnya,”
Sesampainya di hotel, Andi langsung meminta ijin pada orang tua Narina untuk menikahi anaknya nanti malam ba’da Isya dan orang tua Narina menyetujuinya.
Setelah azan isya berkumandang, semua teman-teman Narina dan Andi yang berada di Mesir ikut datang untuk menyaksikan prosesi akad nikah mereka. Narina terlihat begitu cantik dengan pakaiannya yang serba putih, Andi juga terlihat tampan. Akad nikah mereka cukup sederhana.

Narina begitu bahagia, kini ia telah menemukan cinta sejatinya. Ia pun sempat meneteskan air mata saat Andi berkata,” Saya terima nikah dan kawinnya Narina Najmatunnisa binti Husein dengan seperangkat alat solat dibayar tunai.”
Semua hadirin pun turut berbahagia, akhirnya cinta Narina Najmatunnisa dan Andi Hanif Rahman berlabuh di Mesir.
PROFIL PENULIS
Nama : Irna Octarina
TTL : Tangerang, 23 Oktober 1994
Alamat : Ciledug, Tangerang
Hobi : mengumpulkan artikel tentang Mesir, membaca cerpen
Alamat fb : narinamesir@yahoo.com

YOU WERE MINE

Karya Victoria Diora Artha

Aku gak sedih. Sama sekali nggak waktu aku memutuskan hubungan kami. Aku tersenyum lega malah. Lega karena aku gak harus memalsukan perasaan lagi untuk membuat dia tersenyum bahagia.

Ya, aku tahu aku kejam. Menerima dia hanya untuk memainkan perasaannya. Aku belum pernah pacaran, jadi saat Justin Eriko Sentana, cowok basket keren sekaligus kakak kelasku itu mengajakku ke lapangan basket yang lagi sepi dan menyatakan cintanya untukku, why not? Lagipula dia eksis dan ganteng kok , batinku waktu itu.
“Hmm.., iya.. gue mau,” ucapku saat itu. Perasaanku campur aduk, antara bimbang dan senang.

Wajah Justin yang semula pucat pasi langsung berubah seketika. Air mukanya menjadi lebih rileks dan wajahnya semakin tampan. Dia tertawa lega lalu berkata, “makasih ya Jessica.., mau aku anterin pulang?”

Aku mengangguk kecil seraya tersenyum kalem padahal saat itu aku ingin sekali melompat-lompat di tengah lapangan sambil menjerit-jerit, “AAAAA!! Aku punya pacar! Aku punya pacaaaaaaaaar!!! Pacarku cakeeeeeeeeeeeeeeep!!!”. Tapi kutepis pikiran itu jauh-jauh. Bisa-bisa Justin memutusiku karena aku bertindak konyol seperti itu.
Justin menuntunku berjalan lalu dengan santai merangkul bahuku. Deg! Perasaan aneh menjalar ke seluruh bagian tubuhku. Walaupun aku tidak punya perasaan sedikitpun terhadap cowok ini, aneh rasanya seorang cowok (apalagi kakak kelas yang ganteng) merangkul bahuku. Dengan kikuk aku berjalan di sebelahnya dan dalam.. rangkulannya.

Aku tersenyum sedikit mengenang kejadian itu, kejadian teraneh sekaligus terindah semasa hidupku. Eit, aku lupa, ada kejadian lebih indah daripada kejadian ini. Hahaha, kejadian saat hari Valentine.. kututup mataku sejenak mengenang kejadian itu.

Hari Valentine, hari yang paling ditunggu-tunggu remaja-remaja yang telah mengenal cinta. Aku sendiri tidak terlalu semangat menanti hari itu, malah aku hampir lupa hari itu hari Valentine.

Begitu sampai di sekolah, aku menemukan secarik kertas berwarna pink di atas mejaku. Dengan penasaran, kuraih kertas itu dan kulihat tulisan di kertas pink, tulisannya berantakan. Tulisan Justin.
“hayooooo, itu surat dari Justin ya? Cieeeeeeeeeeeee…,” sorak teman sekelasku, Eliza, yang membuat seluruh teman-teman sekelasku mencie-cie dan menyorakiku.

Aku gelagapan. “hah? Nggak kok, sok tau lo, Liz!”
“halah, bohong aja lo, ngaku aja deh Jess!”sahut Dylan, teman sekelasku yang paling iseng.

Dih, daripada harus meladeni teman-teman sekelasku yang berisik, mending aku baca surat dari Justin.

Pulang sekolah di taman belakang. See you, Beautiful.

Segera kulipat surat itu dan dengan tidak sabar menunggu waktu pulang sekolah.

Singkat cerita waktu pulang sekolah pun tiba, perasaan gugup itu ada, tapi aku memberanikan diri berjalan ke taman belakang sekolah. Sepi, belum ada Justin. Apa dia lagi mengerjaiku sekarang? Hhhh.. gak tau diri si Justin..
“Happy Valentine’s day, sweetie,” suara siapa itu? Suara Justin-kah itu? Dengan cepat aku membalikan tubuhku, Justin berada tepat di depanku, sedang menenteng dua buah kotak berwarna putih dengan pita perak menghiasi kotak itu. Dua buah kotak berbeda ukuran. Satu besar dan satu kecil. Aku membayangkan apa yang ada di dalam kotak itu.
“hai, selamat hari Valentine juga, Justin,” aku berusaha memberikan senyum termanisku kepadanya.
“udah nunggu lama ya, tadi? Sorry tadi pak Tristan ngebahasnya agak lama, hehehe,” dia nyengir lebar.
“nggak kok.”
“oh, bagus deh. By the way, ini buat kamu, I hope you like it..,” ucapnya penuh perasaan seraya memberikan kotak-kotak misterius itu.
“makasih ya.. boleh aku buka?” aku menerimanya.
“boleh kok, tapi kamu buka kotak yang lebih kecil dulu, oke?” ia tersenyum sambil mengacak-acak rambutku. Ah, Justin.. rambutku kan jadi berantakan!

Aku membuka kotak yang lebih kecil itu pelan-pelan. Pitanya kulepas dengan rapi dan kutatap mata Justin sebelum membuka kotak itu. Ia menatapku dengan tatapan penuh harapan. Apa ya isi kotak ini? apa seperti di film-film? Cincin atau jam atau perhiasan lainnya? Dengan pelan aku membuka kotak itu, lalu aku terkesiap. Isinya.. kalung perak berbandul bintang dengan hiasan elegan. Satu kata: indah.
“bagus gak?” Justin mengedip ke arahku. Hebat sekali si Justin, bisa membeli kalung seindah ini. Memang sih, aku dengar Justin berasal dari keluarga kaya dan terhormat, gak heran.

Saking terpesonanya pada kalung itu, aku hanya bisa diam dan mengagumi keindahan kalung itu. “eh.. ini buat aku?”

Justin tertawa terbahak-bahak, “kamu lucu banget sih, ya jelaslah itu buat kamu..,” katanya di sela-sela tawanya.

Aku cemberut. Ih, masa aku diketawain sama Justin?
“jangan cemberut dong, sayang.. sini, aku pakein,” Justin berdiri di belakangku setelah mengambil kalungnya.

Gugup. Aku menyampingkan rambutku agar Justin bisa memakaikan kalungnya tanpa ribet. Justin memasangkan kalung itu pelan dan setelah dia memasangnya, dia mengacak-acak rambutku lagi.
“Nah, cewek gue tambah cantik deh pake kalung..,” goda Justin.
“hehehehe..” aku tertawa dengan cengiran lebar.

Aku bingung dengan Justin, dari dulu aku selalu bingung, kenapa dia mau dengan wanita sepertiku, yang gak cantik dan gak populer.. sedangkan, Justin? Ganteng, keren, populer, tajir, pintar main basket. Wuih.. segalanya. Gak pantas banget kalau pacaran sama aku.

Dengan perasaan canggung, aku memandangi dirinya yang penuh pesona. Dia yang seolah merasakan pandanganku balas memandangku. “kenapa, Jess?”
“umm.. boleh aku tanya sesuatu?” ujarku pelan.
“boleh lah! Mau nanya apa, sayang?” Justin menatapku lembut.
“ummm.. kok kamu mau sama cewek jelek dan gak populer seperti aku? Sedangkan kamu populer dan ganteng banget..”

Air muka Justin berubah sedikit. “apaan sih kamu, kamu tuh cantik banget, Jessica Diandra. Cuma orang yang matanya rabun dan buta aja yang bilang kamu jelek, dan soal kepopuleran.. itu gak penting, yang penting kan kamu baik hati dan tidak sombong. Jangan pernah menganggap diri kamu jelek ya? Kamu tuh cantiiiiik banget di mataku.”

Lalu dia memelukku erat. Aku gak gugup, pelukan ini terasa tepat dan sangat pas.

Justin baik sekali ya, rasanya ingin menangis di pelukannya.

Segera kuhilangkan kenangan itu jauh-jauh dari otakku, kenangan indah itu harus pergi. Face the truth, aku kan gak punya feeling sama dia, sama sekali gak punya. Tapi kenapa aku ngerasa kehilangan saat aku baru saja memutusi dia tadi?
*

Jam menunjukkan pukul 02:13 pagi. Putus asa, aku bangkit dari tempat tidurku lalu menyalakan lampu. Hhh.. aku belum bisa tidur, omonganku tadi siang dengan Justin tentang ‘putus-hubungan’ berputar-putar di otakku seperti kaset rusak.

Aku berusaha untuk tidak menyesal telah memutus hubungan kami selama 3 bulan ini. Aku kan memang gak pernah suka ataupun sayang padanya. Lalu apa yang sedang kurasakan saat ini? Gak rela? Bukankah perasaan gak rela itu artinya mencintai? Ah.. gak mungkin... dan gak boleh.

Tok tok tok pintu kamarku diketuk. Siapa sih subuh-subuh begini?
“ya, masuk aja.”

Pintu dibuka dan batang hidung kak Jennifer, kakak kandung perempuanku muncul dari balik pintu, “lo belum tidur?”
“belum hehehe, lo sendiri? Skripsi ya?” tanyaku seraya mempersilakannya duduk di sofa kamarku.
“yoi. Ngomong-ngomong lo kok belum tidur? Terus kenapa muka lo kelipet gitu? Berantem sama si Justin?” kakakku dengan santai bertanya, berbeda sekali dengan aku yang terbelalak karena pertanyaannya tepat sasaran.
“nggak kok, besok banyak ulangan jadi agak stres gitu deh,” aku berbohong.

Kak Jennifer menyeringai mendengar jawabanku. “idih, bohong lo keliatan tuh.. kok bisa berantem? Bukannya dia sayang banget ya sama lo?”

Aku terdiam sejenak. Gak pernah tuh aku cerita pada kak Jennifer tentang Justin, kok dia bisa tahu ya? Mereka bertemu saja baru pernah sekali.. sewaktu Justin mengantar aku pulang dan kak Jennifer memergoki kami.
“tau dari mana dia sayang banget sama gue?”
“kelihatan dari raut mukanya waktu nganterin lo, dia ngeliatin lo penuh perasaan gitu deh. Cieeeee,” kakakku memeletkan lidahnya iseng.

Ucapan kak Jennifer sama saja dengan ucapan teman-temanku yang lainnya, mereka bilang Justin sayang banget sama aku. Aku sendiri gak percaya, cewek kayak aku dapet cowok kayak Justin aja mustahil banget..
*

“Jessi, lo putus sama Justin???” Devina, sahabatku menyerbu saat aku baru saja menginjakan kaki di kelas X-4. Baru saja masuk, aku langsung diserbu!
“yap, kenapa emangnya?”sahutku datar. Aku segera mengambil tempat duduk di deretan paling belakang, di sebelah Devina yang lagi bersedekap dan menatapku seperti meminta penjelasan.
“apaan?” kubalas tatapannya dengan tatapan tak acuh.

Devina memelototiku. Oke, mungkin aku memang harus memberikan penjelasan daripada harus habis dicubiti sampai biru-biru oleh Devina.
“Oke, gue mutusin dia kemarin siang waktu dia lagi latihan basket..,” aku diam sebentar.

Devina menaikkan alisnya, tanda agar aku melanjutkan cerita sedihku.
“yah, gue putusin karena gue emang gak pernah suka ataupun sayang sama dia, gue gak pengin nyakitin hati dia dengan cara mainin dia. Lagipula kemarin dia gak nyegah gue, dia cuma diem, ya udah.”
“bohong! Lo sebenarnya sayang kan sama dia?”
“nggak ih, gue gak sayang sama dia. Gue cuma nerima dia karena gue pengin merasakan enaknya pacaran,” kataku ragu-ragu. Aku saja masih bingung dengan perasaanku sekarang, kalau aku gak menyukai dia, aku pasti akan merasa biasa saja bila kami berpisah, tapi kini di hatiku mengganjal perasaan hambar.

Entah apa rasa itu, tapi yang jelas.. aku gak akan pernah membiarkan hatiku mencintai Justin. Dia terlalu baik untuk aku sakiti.
*

Lapangan basket terlihat sepi hari ini, hanya beberapa anak yang berlatih basket dan beberapa penonton cewek yang senang meneriaki cowok-cowok basket yang mengoper bola. Dan tidak terkecuali, aku. Namun aku hanya berdiri di ujung lapangan basket melihat mantan kekasihku, Justin, mendribble bola dengan tidak semangat. Sepertinya dia tidak menyadari keberadaanku.

Di dalam lubuk hatiku yang paling dalam, tersimpan rasa rindu yang amat dalam pada kenangan-kenangan manis maupun pahit kami. Ya, aku jujur. 3 bulan bukanlah waktu yang singkat. Aku menyadari semakin lama kami bersama, benih-benih rasa itupun tumbuh. Walaupun memang susah untuk menghindari rasa itu, aku harus mengakuinya.. aku telah jatuh hati padanya saat kita mulai bersama, tapi aku berusaha sekuatnya untuk menyangkal rasa itu. Aku sayang padanya.. bila dia tak ada, aku merindukannya, dan saat aku memutusinya, aku merasa kehilangan.

Aku memang munafik, aku memang jahat. Tapi aku telah mengakuinya bukan? Aku menyayangi Justin.

Jika kesempatan untuk bersanding kepadanya lagi masih ada, aku tak akan menyia-nyiakannya. Aku tidak akan takut mengatakan padanya bahwa aku sayang padanya, dan aku akan menyayanginya dengan tulus. Yah.. kalau memang ada kesempatan itu.

Tetapi, kalaupun nanti kami takkan bisa bersama lagi, aku hanya bisa berterimakasih atas waktu yang telah ia luangkan untukku, untuk mengajariku arti cinta dan untuk kalung berbandul yang masih terpasang di leherku hingga kini. Terima kasih.

Aku menggenggam bandul kalung yang sedang kukenakan itu dengan penuh perasaan. Tepat saat itu, Justin berhenti mendribble bolanya. Kini, matanya mengitari sekitar lapangan. Dan.. dia berhenti ketika melihatku, matanya terpaku saat melihatku. Oh Tuhan.. apa yang harus kulakukan? Dengan perasaan gugup, aku tersenyum kecil ke arahnya. Dan guess what? Kini ia sedang menghampiriku dengan ragu-ragu. Dan dengan senyum manisnya yang mengembang lebar.QQ

By :
Free Blog Templates