Karya Irna Octarina
Narina masih saja sibuk dengan komputernya, ia tengah melengkapi
data-data yang harus ia bawa ke Mesir. Pikirannya masih kacau balau,
ibunya bersikukuh untuk tidak mengijinkannya pergi ke Mesir.
Ditengah kesibukannya, Ibu Nafisah memanggil anaknya,
“Narina ayo keluar dari kamarmu, sekarang sudah waktunya makan siang. Sudah sejak tadi pagi kau tidak keluar kamar.”
Dengan
setengah berlari ia pun keluar kamar, jilbabnya yang anggun membuat ia
terlihat lebih cantik, “Ia bu, tunggu sebentar.” Ia segera duduk dan
bersiap untuk makan, sebelum makan ia mencuci tangannya terlebih dahulu.
“Ayah mana bu? Kok dia gak makan bareng kita?”
“Ayahmu sedang keluar sebentar, ngga lama lagi ayahmu juga pulang nak.”
“ Oh ya bu, rencananya minggu depan aku akan berangkat ke Mesir. Semua data-data yang aku butuhkan sudah hampir selesai…
Belum selesai bicara, ibunya langsung memotong ucapan anaknya, “ Sudah
berapa kali ibu bilang, ibu tak akan pernah mengijinkan kamu untuk pergi
ke Mesir. Buat apa sih nak kamu kuliah jauh-jauh disana? Di Jakarta kan
juga banyak Universitas Islam yang bagus,”
“Tapi bu kesempatan untuk kuliah disana hanya sekali,” tanpa sadar air matanya pun menetes.
Memang
berat bila ia harus berpisah dengan ibunya, terlebih lagi ia akan
berada di Mesir selama kurang lebih empat tahun dan belum tentu ia dapat
pulang setiap tahun untuk menemui ibunya. Kepergiannya ke Mesir untuk
melanjutkan pendidikannya, ia mendapatkan beasiswa di Al Azhar
University Cairo. Sejak kecil ia selalu bermimpi untuk pergi ke Mesir
dan melihat betapa indahnya Sungai Nil, dan impiannya kini sudah ada di
depan mata.
“Tolong ijinkan aku bu, aku hanya beberapa tahun saja
disana, aku akan selalu memberi kabar pada ibu. Aku tak akan pernah lupa
pada ibu yang sangat aku sayangi,”
“Apapun alasanmu tetap saja ibu
tak rela bila harus hidup sendirian tanpamu nak, ibu sangat
menyayangimu. Ibu tak ingin kehilangan anak semata wayang ibu, huhuhu
(ibunya pun ikut menangis).
Ayahnya pun masuk segera masuk ke dalam rumah ketika ia mendengar suara tangisan yang terdengar dari teras rumah.
“Kenapa kalian berdua menangis?” Tanya sang ayah kebingungan.
“Ibu tetap tidak mengijinkanku untuk berangkat ke Mesir ayah, aku sudah tidak tau harus bagaimana lagi.”
“Sudahlah bu biarkan anakmu memilih jalan hidupnya, ia sudah dewasa dan ayah yakin kalau ia bisa menjaga dirinya baik-baik.”
“Iya
bu, benar apa kata ayah. Aku yakin bisa menjaga diri disana, di Mesir
aku juga tidak sendiri. Aku ditemani Hikami dan Amalia, mereka juga
kuliah disana,”
“Huh yasudahlah terserah kalian … tapi jika terjadi apa-apa pada Narina, ayah yang akan ibu salahkan.”
Akhirnya
Ibu Nafisah mengijinkan kepergian anaknya ke Mesir. Memang berat
melepaskan anak semata wayangnya untuk hidup mandiri di Mesir. Ia sangat
menyayangi Narina dan kemana saja Narina pergi selalu ditemani ibunya.
Wajah mereka pun sangat mirip, bahkan terkadang ada orang yang mengira
bahwa mereka adalah kakak beradik. Perbedaan umur diantara mereka juga
tidak berbeda jauh, ibunya baru berusia 37 tahun dan anaknya 20 tahun
lebih muda dari usianya kini.
***
Tibalah hari yang ia
tunggu-tunggu, hari ini adalah hari keberangkatannya ke Mesir. Ia
memasukkan semua perlengkapan pribadinya ke dalam koper birunya. Tak
lupa ia membawa Novel Ketika Cinta Bertasbih 1 & 2 karangan
Habiburrahman El Shirazy, ia sangat menyukai novel itu. Baginya begitu
banyak ilmu yang ia dapatkan dari novel itu. Setelah selesai menyiapkan
perlengkapannya, ia langsung mengambil air wudhu untuk Salat Dhuha. Ia
masih punya waktu setengah jam lagi sebelum berangkat ke Bandara
Internasional Soekarno-Hatta.
Sebelum berangkat ia menyempatkan diri untuk menelpon kedua
temannya, Hikami dan Amalia, ia ingin memastikan bahwa kedua temannya
sudah siap untuk berangkat ke Mesir. Setelah itu tak lupa ia berpamitan
kepada kedua orang tuanya,
Narina pun berangkat, tak lupa ia mencium
tangan kedua orang tuanya. Baru beberapa langkah berjalan, ia lalu
memalingkan tubuhnya dan kembali untuk memeluk ibunya. Tak terasa air
matanya mengalir membasahi jilbab biru mudanya, ia begitu sedih harus
berpisah untuk sementara waktu dengan ibunya tapi di sisi lain ia juga
tak bisa menyia-nyiakan kesempatan untuk kuliah di Mesir.
Sudah lima jam ia berada di dalam pesawat, perjalannya masih sekitar
tujuh jam lagi tetapi ia belum bisa tertidur. Padahal Amalia sudah
tertidur pulas, sedangkan Hikami masih saja fokus dengan bukunya. Anak
yang satu ini memang suka sekali membaca buku, baginya waktu terasa
hambar bila ia tak membaca buku. Narina lalu memutuskan untuk memasang
headset dan memutar sebuah lagu favoritnya,
Bertuturlah cinta
Mengucap satu nama
Seindah goresan sabdamu dalam kitabku
Cinta yang bertasbih
Mengutus hati ini
Kusandarkan hidup dan matiku padamu
Bisikkan doaku dalam butiran tasbih
Kupanjatkan pintaku padamu Maha Cinta
Sudah diubun-ubun cinta mengusik resah
Tak bisa kupaksa walau hatiku menjerit
Ketika cinta bertasbih nadiku berdenyut merdu
Kembang kempis dadaku merangkai butir cinta
Garis tangan tergambar tak bisa aku menentang
Sujud syukur pada-Mu atas segala cinta
Akhirnya
ia pun tertidur dalam bait-bait lagu Ketika Cinta Bertasbih, sejurus
kemudian ia sudah tiba di Mesir. Hikami membangunkan kedua temannya,
sejak tadi pagi Hikami belum memejamkan mata sehingga wajahnya terlihat
agak pucat. Mereka pun segera turun dari pesawat dan menuju rumah yang
telah disewa oleh Amalia. Kebetulan salah satu kerabat dari Amalia ada
yang tinggal di Mesir dan rumah itu sudah tidak ditempati lagi. Wajah
Narina tampak begitu bahagia ketika menapakkan kakinya di Mesir, ia
seolah tak percaya.
Setelah tiba di rumah, tak lupa Narina memberi
kabar pada orang tuanya di Indonesia. Mereka bertiga langsung
membersihkan rumah dan beristirahat sejenak untuk melepas lelah. Ada dua
kamar, satu kamar untuk Narina dan yang satunya lagi untuk Hikami dan
Amalia. Mereka begitu kelelahan, tetapi Narina memutuskan keluar
sebentar untuk mencari makanan. Narina melihat pemandangan di
sekelilingnya, begitu banyak wanita bercadar disana. Lalu ia berhenti
sejenak ketika ada rumah makan yang menjual makanan asli Indonesia. Ia
memperhatikan semua menu yang tersedia, tampaknya ia agak sedikit
bingung harus memesan apa. Akhirnya ia memutuskan untuk membeli 3
bungkus nasi, rendang, sayur nangka, dan es teh. Semuanya dibungkus
untuk ia makan bersama kedua temannya. Saat ia ingin keluar, ia hampir
bertabrakan dengan seorang lelaki yang sepertinya orang Indonesia juga.
“Maaf maaf, saya sedang terburu-buru.” Ujar lelaki itu dengan nafas yang terengah-engah.
“Iya
ngga apa-apa”, sepintas ia terpesona oleh lelaki itu. Wajahnya yang
terlihat lelah seperti orang yang tidak tidur semalaman tapi aura yang
dipancarkannya begitu memikat bagi siapapun yang melihatnya.
Ternyata kedua temannya sudah bangun dan tengah menonton tv di rumah.
“Assalamualaikum,”
“Waalaikumsalam,” jawab kedua temannya hampir bersamaan. “Dari mana kamu Na?”
“Ini
aku beli makanan, aku tau pasti kalian laper banget,’’ tanpa disuruh
Amalia langsung mengambil piring dan gelas. Ia sudah tidak bisa lagi
menahan rasa laparnya. Dan lusa adalah hari pertama mereka kuliah,
kebetulan Amalia mengambil jurusan yang sama dengan Narina, yakni
jurusan Sejarah dan Peradaban Islam sedangkan Hikami mengambil jurusan
Perbandingan Agama.
“Ternyata Al-Azhar gede benget ya, duh ga nyesel
deh kuliah disini. Meskipun aku ga dapet beasiswa seperti kalian, tapi
aku seneng bisa satu universitas sama kalian.” Kata Amalia. Kebetulan
Narina tidak sekelas dengan Amalia, maka ia mencari kelasnya sendiri.
Saat ia sedang kebingungan mencari kelasnya, lalu ada seorang lelaki
yang menghampirinya, “Lagi bingung nyari kelas ya? Tanya lelaki itu,
Seketika itu juga Narina kaget bukan kepalang, ternyata lelaki yang
waktu itu pernah membuatnya terpesona kini ada di hadapannya. Dengan
sedikit gugup ia menjawab pertanyaan lelaki tadi, “Ia, dan saya
mahasiswa baru disini,” Lalu mereka saling berkenalan, lelaki itu
bernama Andi Hanif Rahman. Ternyata Andi juga kuliah di Al-Azhar dan
berada dalam jurusan yang sama, tetapi Andi satu tingkat diatas Narina.
Ada sedikit rasa senang di hatinya saat ia tau siapa nama lelaki itu, ia
merasa apakah ia sedang jatuh cinta atau tidak.
***
Hari
berganti hari, minggu berganti minggu, dan bulan berganti bulan. Tak
terasa ia sudah tiga tahun di Mesir, rasanya sudah begitu lama ia tak
bertemu dengan ibunya. Rasa rindunya sudah tak tertahankan lagi,
terkadang ia menangis dalam sujudnya di malam hari. Pemandangan sungai
nil yang begitu indah, membuatnya semakin sedih. Seandainya saja saat
ini ada sang ibu yang menemaninya, pasti kebahagiaannya di Mesir akan
lengkap sudah. Butir demi butir air matanya menetes, hembusan angin
merasuk ke dalam tubuh dan jiwanya. Tanpa sadar ternyata ada seorang
lelaki yang berdiri di sampingnya, ia pun segera mengusap air matanya
dengan tisu yang ada di sakunya.
“Kuperhatikan sejak tadi, mengapa kau menangis? Sepertinya kau sedang memikirkan sesuatu,” Tanya Andi.
Dengan
suara serak ia pun membuka suara,”Aku rindu pada ibuku, sudah 3 tahun
aku tak bertemu dengannya, oh ya kenapa ka Andi bisa ada disini?”
‘’Hehe sebenarnya aku mengikutimu sejak kau pulang kuliah, kelihatannya kau sangat sedih dan begitu terburu-buru,”
“Ah,
mana mungkin kakak ngikutin aku. Hehe kakak ini ada-ada aja,” akhirnya
ia pun sudah mulai bisa tersenyum. “Kakak masih inget ngga waktu kita
ketemu di rumah makan? Tepatnya tiga tahun yang lalu,”
“Ya iyalah, kakak inget banget malah. Kakak kan suka sama kamu sejak kita ketemu waktu itu…”
Wajah Narina terlihat memerah, sepertinya ia malu dan tidak tau
harus berkata apa. Mereka diam sejenak, tak ada yang berani untuk
membuka suara. Narina malah pulang ke rumahnya, Andi hendak mengejarnya
tapi ia tak punya keberanian. Sebenarnya Andi tak berniat untuk
mengatakan itu pada Narina, tapi kata-kata itu keluar seketika dari
mulutnya. Ia memang jatuh hati pada Narina sejak pertama kali ia
bertemu. Waktu itu ia hampir telat untuk masuk kerja jadi ia
terburu-buru dan hampir menabrak Narina. Sejak saat itu ia penasaran
dengan sosok gadis itu, sampai akhirnya ia bertemu lagi dengan Narina di
Universitas Al-Azhar. Ia semakin sering memperhatikan Narina saat gadis
itu berada di kampus, tetapi Narina tak pernah menyadarinya. Baginya,
Narina adalah sosok yang sederhana, lemah lembut dan ia bagaikan bunga
yang bermekaran di musim semi. Narina cukup terkenal di kampusnya, ia
adalah mahasiswi yang cerdas. Ia pun aktif dalam kegiatan-kegiatan
kampus.
Setibanya di rumah, Narina langsung masuk ke dalam
kamarnya dan menangis hingga sesenggukan. Kedua temannya langsung
menghampiri Narina, lalu Narina menceritakan apa yang ia alami hari ini
kepada kedua temannya. Termasuk awal mula pertemuannya dengan Andi dan
perasaan yang ia pendam pada Andi.
“Ya ampun Narina, kenapa kamu gak bilang ke Andi kalo kamu juga suka sama dia? Jelas-jelas kalian kan saling cinta,” tutur Lia,
“Tapi aku ga mau kalo kak Andi suka sama aku,”
Hikami
dan Amalia langsung saling berpandangan, mereka bingung mengapa Narina
bersikap seperti itu.” Aku itu ga mau kalo nantinya aku malah pacaran
sama kak Andi, aku takut kalo kuliah aku jadi terganggu. Disini aku
tinggal satu tahun lagi, aku pengen pulang ke Indonesia dengan gelar
sarjana terbaik jadi aku gak pengen ngerusak impian aku itu dengan
pacaran,” ungkap Narina.
Dengan spontannya, Lia langsung megeluarkan
idenya, “ Emm gimana kalo kamu nikah aja? Kak Andi juga udah lulus, kan
ga ada larangan menikah buat mahasiswa.”
Saran dari Lia hanya
membuatnya semakin bingung, akhirnya ia memutuskan untuk menjauhi Andi
selama beberapa waktu. Ia butuh waktu untuk memikirkan masa depannya
itu.
***
Sudah hampir sepuluh bulan Narina tidak bertemu
dengan Andi, ada rasa rindu yang terbersit dalam hatinya tapi ia memilih
untuk menahan rasa rindunya itu. Padahal Andi selalu berusaha untuk
menemuinya, tapi ia selalu menolak. Ada saja alasan yang dibuat oleh
Narina, padahal Andi telah membulatkan tekadnya untuk melamar Narina.
Dan
sepuluh bulan setelah kelulusannya, usaha yang Andi rintis semakin
maju. Setelah menyelesaikan kuliahnya, ia mencoba bisnis berbagai macam
pakaian muslim secara online dan omset yang ia dapatkan sangat
memuaskan. Mungkin cukup untuk biaya pernikahannya kelak, tapi belum ada
jodoh yang tepat untuknya. Padahal banyak gadis yang menyukainya tapi
entah mengapa ia selalu menolaknya. Hanya Narina yang selalu ada di
pikirannya, ia yakin suatu saat nanti ia bisa mempersunting gadis
pujaannya itu. Ia bertekad untuk selalu menunggu Narina, sampai gadis
itu mau menerima ia sebagai suaminya.
Tak terasa, hari kelulusan itu telah tiba dan Narina dinobatkan
sebagai mahasiswa terbaik di kampusnya. Betapa bahagia dan terharunya
dia, ia pun tak sabar untuk kembali ke tanah air dan bertemu dengan
kedua orang tuanya. Ia pun memutuskan untuk segera pulang ke Indonesia
bersama Amalia. Sementara Hikami memilih untuk melanjutkan S2 nya,
meskipun ada sedikit rasa sedih karena ia harus berpisah dengan kedua
temannya tapi ia mencoba untuk tetap tegar karena ia memang bercita-cita
untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Narina pun pulang tanpa
sempat memberi kabar kepada Andi, karena ia sudah terburu-buru.
Dua
belas jam di pesawat, membuatnya kelelahan. Tapi setibanya di rumah,
seolah rasa lelah itu hilang sudah. Ia langsung memeluk kedua orang
tuanya dan menangis di pundak ibunya. Mereka saling melepas rindu, lalu
sang ibu bertanya pada Narina, “Ibu bangga sama kamu nak, kamu bisa
memberikan yang terbaik. Lalu bagaimana dengan jodohmu nak, apakah kau
sudah menemukan jodoh yang tepat di Mesir?”
Seketika itu juga
Narina merasa seolah tubuhnya bak tersiram air panas, ia teringat dengan
Andi. Ia tidak sempat menemui Andi, bagaimana nasib andi sekarang,
semua itu hanya terbenak dalam pikirannya.
“Ditanya ko malah diem?”, ucap ibunya.
Ia
mulai membuka suara, dengan terbata-bata ia menceritakan pada ibunya
bahwa ia sudah menemukan lelaki yang ia dambakan tapi ia malah
menjauhinya.
“Yasudah nak gak apa-apa, kalo jodoh gak akan kemana,”
Lalu
ia masuk kedalam kamar, ia masih memikirkan Andi. Bagaimana Andi
sekarang, sudah hampir setahun ia menjauhi Andi. Apakah Andi masih
menyukainya,
***
Ibu Nafisah ingin sekali ke Mesir, maka sang
Ayah mengajak istri dan anaknya untuk berlibur di Mesir selama beberapa
pekan. Di sisi lain, Andi masih terus mencari Narina. Setelah Narina
lulus, ia tak pernah memberi kabar pada Andi tapi tetap saja Andi setia
menunggu Narina.
Saat Narina hendak berkunjung ke rumah Hikami, ia
bertemu dengan Andi. Ingin rasanya ia memeluk Andi untuk menghilangkan
rasa rindunya selama ini tapi ia tak bisa. Mereka berdua menangis dan
saling bertatapan, Andi tak menyangka penantiannya selama ini membuahkan
hasil.
“Narina aku sangat menyayangimu, selama ini aku selalu
menunggumu tapi kau tak pernah ada kabar. Aku tak ingin bila harus
kehilanganmu lagi, maka maukah kau menikah denganku?”
Narina pun
tak bisa menjawab, ia merasa sangat terharu. Inilah saat-saat yang
selalu ia tunggu. “Huhuhu aku juga sayang sama kakak, kalau begitu temui
orang tuaku dan nikahi aku.”
“Baiklah kalau begitu, akan kusuruh teman-temanku untuk memanggil penghulu dan surat-surat pernikahan akan diurus secepatnya,”
Sesampainya
di hotel, Andi langsung meminta ijin pada orang tua Narina untuk
menikahi anaknya nanti malam ba’da Isya dan orang tua Narina
menyetujuinya.
Setelah azan isya berkumandang, semua teman-teman
Narina dan Andi yang berada di Mesir ikut datang untuk menyaksikan
prosesi akad nikah mereka. Narina terlihat begitu cantik dengan
pakaiannya yang serba putih, Andi juga terlihat tampan. Akad nikah
mereka cukup sederhana.
Narina begitu bahagia, kini ia telah menemukan cinta sejatinya. Ia
pun sempat meneteskan air mata saat Andi berkata,” Saya terima nikah dan
kawinnya Narina Najmatunnisa binti Husein dengan seperangkat alat solat
dibayar tunai.”
Semua hadirin pun turut berbahagia, akhirnya cinta Narina Najmatunnisa dan Andi Hanif Rahman berlabuh di Mesir.
PROFIL PENULIS
Nama : Irna Octarina
TTL : Tangerang, 23 Oktober 1994
Alamat : Ciledug, Tangerang
Hobi : mengumpulkan artikel tentang Mesir, membaca cerpen
Alamat fb : narinamesir@yahoo.com